Masih terlihat tanah basah yang telah disentuh oleh hujan, angin yang
seharusnya dirasakan untuk dinikmati kini terasa mencekam. Masih bisa
kurasakan bekas jeritan dan raungan para pejuang yang mempertahankan harga
diri dan kesungguhan akan perlindungan untuk Negerinya. Peristiwa itu terjadi
didepan mataku, terlihat jelas menggetarkan relung hati. 10 November 1945, tak
kusangka diriku menjadi saksi bisu pertempuran Surabaya.
Pagi itu terasa biasa saja seperti pagi yang lainnya, tak kuhiraukan
berbagai prasangka yang terus menggaung dikepala. Firasat buruk mulai singgah
dihatiku, diriku bertanya-tanya akan terjadi apakah hari ini? Apakah aku akan
baik-baik saja?
Aku hanya orang pribumi di tanah Surabaya yang tahu akan konflik
Negara dan Bangsa ini dengan mereka yang seenaknya memperlakukan rakyat
biasa semena-mena tanpa tahu apa itu rasa belas kasihan. Apakah mereka cukup
punya hati nurani? Ya, sering ku bertanya pada diriku sendiri tapi tak kunjung
mendapatkan jawaban pasti akan pertanyaan itu.
Seharusnya hari itu masih terjadi suasana euphoria untuk rakyat negeri ini,
dimana pada tanggal 17 Agustus tahun 1945 pemimpin bangsa ini yaitu, Soekarno
dan Hatta berhasil mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta setelah
sekian lama bangsa ini hidup dalam kesengsaraan jiwa.
Pada saat itulah rakyat Indonesia merasakan sebuah kebebasan dimana
mereka kemudian menjadi kelompok pro-republik. Tetapi, dalam beberapa
minggu setelah itu, terjadi sebuah kekosongan kekuatan baik dari luar maupun
dalam Indonesia, menciptakan atmosfir ketidak pastian. Hal itu justru
menciptakan masalah baru yang timbul akibat ketidak percayaan satu sama lain.
Suara bising membuyarkan lamunanku memaksa kembali pada kehidupan nyata,
Selebaran kertas di atas kepalaku seakan menari-nari ditiup belaian angin
menerpa. Ku tengadahkan kepalaku ke atas langit dan begitu terkejut dengan apa
yang aku lihat, bukan hamparan langit biru nan luas ku dapati tetapi sebuah
pesawat yang ku yakini milik Inggris dari Jakarta. Dalam hati ku bertanya, untuk
apa mereka kemari? Oh kertas itu, aku segera memungut dan mencari tahu apa isi
dari kertas tersebut. Isi kertas itu ternyata ancaman dari pihak inggris yang
memaksa para tentara dan milisi Indonesia untuk menyerahkan senjata mereka.
Suasana pagi itu menjadi ribut oleh umpatan-umpatan orang-orang yang berada
disana sama sepertiku. Aku mencekal lengan seseorang yang kebetulan lewat dan
bertanya “Maaf tuan ada apa ini?” tanyaku pada orang itu. Dia sempat diam
berpikir untuk menjawab pertanyaanku. “ini merupakan gencatan senjata mungkin
akan terjadi pertempuran di Negeri Surabaya ini, sebaiknya perempuan dan anak-
anak segera mencari tempat aman untuk berlindung”. Setelah mengatakan itu dia
berlalu tergesa dari hadapanku. Aku bingung harus bagaimana, membayangkan
pertempuran yang akan terjadi didepan mataku. Aku mengedarkan pandanganku
melihat sekeliling mencari tempat aman, itu dia! Aku menemukan tempat
bersembunyi yang menurutku cukup aman. Diriku berlari menghindari orang yang
sama dengan diriku seperti mengikuti lomba lari dengan yang lainnya. Akhirnya
aku mencapai tempat itu dan bersembunyi disana. Terlihat tentara pasukan
Indonesia dan pasukan inggris yang tak dapat kuhitung jumlahnya serta dengan
tank, pesawat, dan kapal perang.
Pertempuran tak terelakkan, letupan-letupan senjata yang memekakan
telinga terus terdengar disertai teriakan menggema sarat penuh akan semangat
daya juang. Tubuhku membeku melihat pemandangan itu, mereka terkulai lemas
bersimbah darah tergeletak tak berdaya. Aku menggigil ketakutan memikirkan
kemungkinan terburuk jika aku terus berada disituasi seperti ini. Aku
memanjatkan do’a berharap bisa selamat dari semua ini. Tak kusangka do’aku
terdengar oleh tuhan, mereka entah siapa datang menyelamatkanku membawa lari
dari tempat itu. Sebelum aku benar-benar menjauh dari tempat itu, aku melihat
mereka masih berperang dan sibuk mengangkat senjata. Entah aku tak ingin tahu
siapa pemenang pertempuran itu, rasa ketakutan akan kekalahan tentara dan milisi
Indonesia membuatku tak ingin mengetahuinya. Hari itu menjadi hari
pertempuran Surabaya sejarah akan hari pahlawan 10 November 1945 dimana aku
merasakan posisi amat sangat menegangkan dalam sejarah hidupku.